Skandal peredaran beras oplosan secara masif di sejumlah daerah mengungkap kerugian besar bagi konsumen. Beras dengan kualitas rendah dijual sebagai beras premium dengan harga Rp 15.000 per kilogram, menimbulkan potensi kerugian nasional hingga Rp 99,35 triliun per tahun. Pemerintah, aparat penegak hukum, hingga Kejaksaan Agung kini bergerak menyikapi kasus yang dinilai serius ini.
Harga Tak Turun di Masa Panen, Kementan Lakukan Investigasi
Kasus ini mencuat setelah Kementerian Pertanian (Kementan) mencurigai naiknya harga beras di pasar pada masa panen raya pertengahan tahun 2025. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyatakan, produksi beras nasional dalam kondisi surplus, namun harga di pasaran justru melonjak.
“Di tengah panen raya, seharusnya harga turun. Tapi faktanya justru naik. Ini mengindikasikan ada yang tidak beres di sistem distribusi dan mutu beras,” ujar Amran dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (24/7).
Investigasi pun dilakukan bersama sejumlah lembaga seperti Satgas Pangan Bareskrim Polri, Badan Pangan Nasional (Bapanas), dan laboratorium independen. Sebanyak 268 merek beras dari 10 provinsi diuji di 13 laboratorium terverifikasi. Hasilnya mengejutkan:
- 85–88 persen merek beras tidak sesuai label mutu.
- 60–95 persen dijual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
- 22–91 persen kemasan memiliki berat lebih rendah dari keterangan yang tertera.
“Ini penipuan terang-terangan. Masyarakat beli beras premium, tapi kualitas dan beratnya tidak sesuai,” tegas Amran.
Modus: Medium Dioplos Jadi Premium
Satgas Pangan mengungkap bahwa para pelaku mengambil beras medium seharga sekitar Rp 12.000/kg, lalu mengemas ulang dengan merek dan label premium untuk dijual Rp 15.000/kg. Beras yang seharusnya berada di kelas menengah itu tidak mengalami proses peningkatan mutu, namun langsung dipasarkan dengan label yang menyesatkan.
Perbedaan harga sekitar Rp 3.000 per kg inilah yang menyebabkan kerugian besar secara agregat. Dengan asumsi konsumsi beras 30 juta ton per tahun, maka kerugian publik bisa mencapai Rp 99,35 triliun.
Sebanyak 212 merek yang teridentifikasi bermasalah telah ditindak, dan penyidikan dilakukan terhadap sejumlah perusahaan seperti PT PIM, PT FS, dan beberapa distributor di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Kejaksaan Agung Siap Ambil Alih Perkara
Melihat skala kerugian dan dampaknya yang luas terhadap masyarakat, Kejaksaan Agung Republik Indonesia menyatakan kesiapan untuk mengambil alih penyidikan, bila ditemukan indikasi tindak pidana korupsi atau pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan UU Pangan.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah mengatakan bahwa Kejagung terus memantau perkembangan kasus ini dan telah berkoordinasi dengan Satgas Pangan serta Kementan.
“Kami membuka opsi untuk menaikkan kasus ini ke tingkat pidana khusus apabila terbukti ada penyalahgunaan wewenang, pemalsuan mutu pangan, dan manipulasi harga yang berdampak sistemik,” kata Febrie di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Kamis (25/7).
Febrie menegaskan, pelaku bisa dijerat dengan Pasal 62 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta Pasal-pasal dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang ancamannya bisa mencapai 5 tahun penjara.
Kejagung juga mendalami kemungkinan adanya keterlibatan pejabat atau aparat yang “bermain” dalam sistem distribusi pangan nasional.
Pemerintah Minta Restitusi, Presiden Prabowo Tegas
Presiden Prabowo Subianto menyatakan kemarahan atas skandal ini dan menegaskan pentingnya restitusi. Ia meminta para pelaku usaha yang melakukan pengoplosan beras segera mengembalikan kerugian yang diderita publik.
“Kalau bisa dikembalikan Rp 100 triliun, itu bagus. Kalau mereka mau restitusi, kita bisa pertimbangkan aspek hukumnya,” ujar Prabowo saat rapat terbatas dengan para menteri terkait.
Langkah ini dinilai sebagai bagian dari pendekatan “restorative justice” namun tetap membuka ruang penindakan hukum jika pelaku tidak kooperatif.
Perlindungan Konsumen dan Pengawasan Diperketat
Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi, meminta seluruh pelaku usaha beras memperbaiki sistem mutu, label, dan distribusi. Ia mengingatkan bahwa pengawasan terhadap mutu pangan kini tidak bisa ditawar-tawar.
“Kami pastikan pengawasan mutu pangan akan diperketat. Pelaku usaha harus jujur dan taat regulasi,” ujar Arief.
Pemerintah juga akan membentuk tim audit mutu gabungan lintas lembaga, serta membuka akses pengaduan bagi masyarakat yang mencurigai praktik serupa di wilayahnya.
Kasus beras oplosan ini menyoroti lemahnya pengawasan terhadap mutu dan distribusi pangan di Indonesia. Dengan nilai kerugian yang fantastis, aparat hukum termasuk Kejaksaan Agung kini bersiap turun tangan. Sementara itu, masyarakat diimbau untuk lebih kritis dalam memilih beras dan melaporkan produk yang diduga tidak sesuai standar.
Reporter: Tim Redaksi Klopak Indonesia
Editor: Redaktur Pelaksana