Akhirnya PKS menyerah. Sebentar lagi PKS akan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Pimpinan PKS beserta semua infrastruktur partai siap-siap membangun narasi untuk menjustifikasi keputusan bergabung dengan KIM. Dan tidak tanggung-tanggung, keputusan PKS ini juga menyebabkan gagalnya Anies maju Pilgub Jakarta. Karena paket Ridwan Kamil-Suswono sebentar lagi menjadi kenyataan.
Kader dan buzzer PKS harus bersusah payah menelan ludah sendiri. Sumpah serapah, cacian dan makian yang dilontarkan selama ini kepada Jokowi dan Prabowo-Gibran harus mereka telan lagi. Bahkan lebih etis lagi kalau semua kader dan buzzer PKS minta maaf terbuka kepada Jokowi dan Prabowo-Gibran karena sudah khilaf mencaci maki mereka. Narasi perubahan yang selama ini mereka kumandangkan harus menyerah dengan tarian oke gass…oke gass….!!
Pimpinan PKS harus menyerah pada realitas politik kontemporer. Tema Perubahan yang dikesankan sebagai ideologi PKS, ternyata tidak seindah kata. Anies Baswedan yang dikesankan sebagai tokoh ummat dan tokoh perubahan, ternyata harus ditinggal PKS dan dibiarkan berjuang sendirian. Pimpinan PKS sudah masuk dalam suasana pragmatisme ketika melihat kedigdayaan kekuasaan. Aspirasi kader untuk tetap istiqomah berdiri sebagai oposisi Prabowo-Gibran diabaikan.
Bergabung dengan KIM adalah pilihan pragmatis-strategis bagi Pimpinan PKS. Pragmatis dalam rasionalisasi Pimpinan PKS adalah akses sumberdaya, sedangkan strategis adalah kontribusi dalam membangun bangsa. Dua tema inilah yang sedang di sosialisasi untuk menjadi justifikasi ke akar rumput PKS.
PKS yang mengaku sebagai partai dakwah, dimana dakwah sebagai panglima sudah surut ke belakang. PKS sama dengan partai lainnya yang mengedepankan akses sumberdaya dan kekuasaan. Taujih-taujih tentang ruhul jadid fii jasadil ‘ummah yang sering dikaitkan dengan fungsi partai menjadi tidak relevan. Pimpinan PKS sudah sampai pada satu titik, pragmatisme kekuasaan.
Pragmatisme ini didukung dengan keluguan kader dan budaya feodalisme yang sudah mengakar. Apakah kader-kader PKS akan melawan keputusan pimpinan? tidak akan berani. Jika ada kader yang membangun perlawanan terhadap keputusan qiyadah pasti akan di “Fahri”-kan, alias dipecat.
Dalam feodalisme PKS, keputusan pimpinan itu ” final” tidak boleh ada debat, “sami’na wa atho’na”. Walaupun keputusan itu sangat bertolak belakang dengan keputusan sebelumnya. Kader-kader PKS sebelumnya diminta bergerak maksimal untuk sosialisasikan Anies-Sohibul Iman, tapi tidak lama lagi kader akan diminta bergerak maksimal sosialisasikan RK-Suswono.
PKS harus mulai evaluasi diri tentang performanya. Narasi kebencian terhadap Jokowi, Prabowo-Gibran, politik dinasti dan narasi-narasi kebencian lainnya harus segera diakhiri. Manuver politik praktis yang dikemas sebagai ideologi partai harus diakhiri.
PKS tidak lebih dari partai politik an sich, tidak lebih, tidak kurang. Jika PKS jadi masuk KIM-Plus, maka politik dua kaki atau politik dua wajah juga harus diakhiri agar stabilitas KIM terjaga.
Narasi-narasi PKS untuk menyingkirkan Partai Gelora dari KIM juga harus dibersihkan. Melakukan downgrade terhadap performa Partai Gelora juga harus dihilangkan dari PKS, karena pada akhirnya PKS adalah “follower” (pengikut) Partai Gelora. Ijtihad-ijtihad PKS lewat Majelis Syuro pada prinsipnya adalah duplikasi dari ijtihad-ijtihad Anis Matta di Gelora. Pada akhirnya, pada ujungnya PKS menyerah dan sepakat dengan ijtihad Partai Gelora masuk Koalisi Indonesia Maju.
(RUDY Ahmad)