Jakarta — Kasus pengadaan laptop Chromebook oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terus bergulir setelah Kejaksaan Agung mengungkap adanya rapat penting yang dinilai sebagai titik balik dalam proses penyusunan kajian teknis. Rapat yang digelar pada 6 Mei 2020 itu diduga menjadi momen krusial yang mengubah arah rekomendasi dari awalnya menyarankan sistem operasi Windows menjadi mendukung Chrome OS milik Google.
Sebelum rapat tersebut, berdasarkan hasil kajian teknis yang dilakukan oleh tim ahli di lingkungan Kemendikbudristek pada April 2020, Chromebook dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan pendidikan di Indonesia. Hal ini mengingat keterbatasan akses internet di banyak wilayah, serta karakteristik penggunaan laptop yang membutuhkan fleksibilitas aplikasi dan fungsi yang lebih luas. Namun, hanya berselang beberapa minggu setelah rapat 6 Mei berlangsung, kajian tersebut mengalami perubahan signifikan. Versi revisi dari kajian itu menyebutkan bahwa Chromebook justru menjadi solusi ideal bagi sistem pembelajaran digital nasional.
Kejaksaan Agung menyebut bahwa perubahan substansi kajian teknis itu menjadi dasar pengadaan besar-besaran Chromebook dengan total anggaran yang mencapai Rp9,98 triliun. Anggaran tersebut terdiri dari Rp3,58 triliun dana satuan pendidikan dan Rp6,4 triliun dari dana alokasi khusus (DAK) pendidikan. Padahal, hasil uji coba sebelumnya oleh Pustekkom Kemendikbud terhadap 1.000 unit Chromebook menunjukkan bahwa perangkat ini tidak efektif dalam menunjang proses pembelajaran di berbagai daerah yang konektivitas internetnya masih rendah.
Mantan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim telah dipanggil oleh Kejagung sebagai saksi untuk mengklarifikasi isi dan substansi rapat tersebut. Ia diperiksa selama lebih dari 12 jam pada Senin, 23 Juni 2025, di Gedung Bundar Kejaksaan Agung. Pemeriksaan itu difokuskan pada sejauh mana dirinya mengetahui atau mungkin terlibat dalam proses perubahan hasil kajian teknis yang akhirnya menjadi pijakan proyek pengadaan Chromebook. Penyidik juga menyoroti keterlibatan staf khusus menteri dalam dinamika perubahan rekomendasi sistem operasi tersebut.
Selain itu, Kejagung mendalami dugaan adanya permufakatan jahat atau kolusi antara oknum internal Kemendikbudristek dan pihak eksternal, termasuk kemungkinan adanya tawaran atau tekanan dari pihak tertentu yang berkepentingan terhadap proyek tersebut. Indikasi ini diperkuat dengan kemunculan bukti dokumen dan rekam jejak komunikasi yang mengarah pada proses pengondisian keputusan teknis agar sejalan dengan kepentingan pengadaan Chromebook.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena menyangkut transparansi dan integritas dalam pengelolaan anggaran pendidikan nasional. Apalagi, proyek pengadaan ini berlangsung dalam konteks pemulihan pendidikan pascapandemi, ketika kebutuhan akan perangkat digital meningkat tajam. Jika dugaan manipulasi kajian teknis ini terbukti, maka tidak hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga berpotensi merugikan negara dalam jumlah besar.
Hingga saat ini, Kejaksaan Agung masih terus melakukan pendalaman terhadap seluruh pihak yang terlibat. Publik menanti langkah tegas dan terang dari aparat penegak hukum dalam mengungkap kebenaran di balik pengadaan Chromebook yang kontroversial ini.