Jenderal Polisi (Purn.) Hoegeng Imam Santoso (14 Oktober 1922 – 14 Juli 2004) dikenang sebagai salah satu figur terbersih dalam sejarah institusi Polri. Ia menjabat sebagai Kapolri kelima pada 9 Mei 1968 hingga 2 Oktober 1971, dan mendapatkan julukan “The Honest Policeman” karena konsistennya memberantas korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Dikenal tidak menerima suap atau hadiah, Hoegeng memilih hidup sederhana. Pada 1955, saat ditugaskan memberantas penyelundupan di Sumatera Utara, ia menolak tawaran mobil dan rumah dari pelaku, dengan tegas menyatakan bahwa lebih baik hidup melarat daripada terlibat korupsi. Keputusannya mencerminkan integritasnya yang tinggi. Bahkan, demi menjaga reputasi, ia meminta istrinya menutup usaha toko bunga ketika dipercaya memimpin Imigrasi pada 1960, untuk menghindari konflik kepentingan.
Dalam kepemimpinannya, Hoegeng tidak takut membongkar kasus-kasus besar, termasuk penyelundupan yang melibatkan pejabat tinggi. Namun, keberanian itu juga membuatnya semakin terkucil dari pusat kekuasaan. Ia memilih mundur dari jabatan Kapolri pada 1970, karena merasa sistem yang korup tak memberikan ruang bagi upayanya.
Reputasi kejujuran Hoegeng juga diabadikan lewat humor tajam Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengatakan:
“Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng.”
Sindiran ini bukan sekadar guyon, tetapi kritik tajam terhadap tingkat kejujuran aparat Indonesia saat itu.
Pasca pensiun, Hoegeng menolak tawaran jabatan ambassadorship maupun posisi politik dari rezim Orde Baru. Ia memilih hidup rendah hati, menekuni seni—menyanyi dan bermain gitar bersama grup “The Hawaiian Seniors” di TVRI hingga tahun 1979—serta berperan sebagai penolak otoritarianisme melalui gerakan seperti Petisi 50, kelompok intelektual dan pemimpin militer kritis terhadap kekuasaan Presiden Suharto .
Akibat kritiknya terhadap Orde Baru, Rezim memblokir program musik dan siarannya; ia pun dilarang menghadiri peringatan Bhayangkara dari 1987–1996 .
Akademisi seperti Mia Awaliyah menegaskan bahwa karakter Hoegeng—terbuka, jujur, sederhana, dan bertanggung jawab—menjadi tolok ukur keteladanan pemimpin berkualitas. Dalam studi yang dipublikasikan pada 2019, ia disebut sebagai contoh integritas sejati di tengah penurunan kredibilitas publik terhadap pemimpin masa kini.
Hoegeng bukan sekadar mantan Kapolri, melainkan ikon moral penegakan hukum. Di tengah berbagai godaan politik dan korupsi, ia memperlihatkan bahwa kejujuran dan keberanian—meski harus menghadapi tekanan berat—adalah fondasi utama bagi institusi kepolisian yang dipercaya masyarakat. Sosok Hoegeng menjadi inspirasi abadi bagi generasi penerus, bahwa pangkat dan jabatan luput dari nilai jika tidak dilandasi integritas.