KlopakIndonesia – BKKBN melakukan Rapat Koordinasi Teknis pada hari Selasa 10 September 2024 di Soreang Kabupaten Bandung.
Rakortek diikuti seluruh tim Kedeputian Pengendalian Penduduk BKKBN Pusat dan Tim Kerja Pengendalian Penduduk Perwakilan BKKBN Provinsi se-Indonesia.
Pelaksana Harian (Plh) Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tavip Agus Rayanto saat menjadi pembicara kunci pada pembukaan Rapat Koordinasi Teknis (Rakortek) Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) Bidang Pengendalian Penduduk II Tahun 2024 mengungkapkan bahwa Potret kependudukan Indonesia sangat dinamis. Transformasi demografis menunjukkan adanya penurunan angka kelahiran total atau total fertility rate (TFR) yang berimbas pada menurunnya laju pertumbuhan penduduk (LPP). Pada saat yang sama, situasi dan karakteristik antarwilayah menunjukkan keberagaman. Karena itu, kebijakan kependudukan maupun kebijakan pembangunan pada umumnya tidak bisa diseragamkan untuk semua wilayah. Perlu kebijakan afirmatif untuk menyesuaikan dengan karakteristik masing-masing wilayah.
“Kalau kita mengikuti arahan dari Bappenas, dalam kebijakan kependudukan, maka progam-program yang berbasis kewilayahan ini jadi penting. Tidak bisa lagi menerapkan kebijakan once for all, satu kebijakan diterapkan untuk seluruh wilayah Indonesia. Karena itu, afirmasi kebijakan menjadi penting untuk wilayah-wilayah. Dengan cara apa, dengan cara mengidentifikasi tantangan-tantangan dan isu-isu di wilayah tersebut,” ungkap Tavip.
Sekretaris Utama BKKBN ini menekankan bahwa untuk menyukseskan pembangunan menuntut perubahan mindset. Di sinilah perlunya peningkatan pelaksanaan pembangunan berwawasan kependudukan. Dia mencontohkan penyusunan Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK) yang belum banyak menjadi acuan dalam penyusunan perencanaan pembangunan di daerah.
“Mohon maaf ini untuk kritik. Selama ini GDPK itu kalau di daerah-daerah, karena saya pernah jadi orang daerah, baru banyak berhenti di dokumen. Padahal, harusnya menjadi mainstream pembangunan di daerah. Tidak ada pembangunan yang tidak ada hubungannya dengan penduduk. Oleh karena itu, ini harus menjadi perhatian dalam menyusun perencanaan berbasis kependudukan. Khususnya, bisa berbasis afirmasi. Bagi daerah-daerah yang sudah baik untuk dipertahankan, untuk daerah yang kurang tentu perlu akselerasi agar bisa lebih cepat,” papar Tavip.
Mantan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menambahkan, progam Bangga Kencana harus terus diperkuat dengan peningkatan yang lebih inovatif dan inklusif. Pengendalian penduduk melalui program keluarga berencana yang efektif dan edukatif akan memastikan keseimbangan antara pertumbuhan penduduk dengan kapasitas pembangunan yang berkelanjutan.
Kebijakan Adaptif
Dalam era digital, sambung Tavip, teknologi menjadi alat yang penting untuk mendukung kebijakan kependudukan. Pengembangan sistem informasi untuk analisis demografis serta pemanfaatkan kecerdasan buatan and internet of things (IoT) harus menjadi strategi dalam sistem informasi peringanatan dini pengendalian penduduk. Oleh karena itu, teknologi yang dimiliki harus terus dikembangkan karena tantangan teknologi di luar maju demikian pesat.
“Kalau tidak, tentu akan ketinggalan dengan teknologi yang ada di luar yang demikian pesat. Jadi, kalau kita terpaku dengan teknologi yang kita miliki tanpa melakukan penyesuaian, tentu akan tertinggal. Demikian juga kalau kita kaitkan dengan transformasi demografis. Bagaimana transformasi demografis ini harus dikelola dengan bijak melalui kebijakan kependudukan yang tepat dan adaptif,” ucap Tavip.
“Kenapa saya sebut adaptif, karena dinamikanya sangat tinggi. Karena itu, kebijakan kependudukan tidak lagi once for all, satu kebijakan untuk seluruh wilayah di Indonesia. Kebijakan kependudukan perlu mempertimbangkan karakteristik, seperti agama, sosial-ekonomi, atau faktor-faktor ekologis yang ada di wilayah tersebut,” Tavip menambahkan.
Menurutnya, terdapat beberapa keunggulan dalam tantangan menerapkan kebijakan asimetris atau dalam otonomi daerah sering disebut desentralisasi asimetris. Yaitu, tidak adanya penyeragaman wilayah yang disebut sebagai daerah otonom. Karena itu, keunggulan dalam perspektif efektivitas dan efisiensi harus menjadi pertimbangan untuk menyusun kebijakan. Dengan begitu, efektivitas program bisa dilaksanakan secara optimal.
Dia juga mengingatkan, menurunnya angka fertilitas seyogyanya mendorong munculnya kebijakan mikro yang berorientasi keluarga. Dalam hal ini di luar kebijakan kependudukan. Untuk itu, diperlukan kebijakan pembangunan keluarga di era replacement level, yaitu kebijakan pembinaan kehidupan berkeluarga berupa motivasi berkeluarga dan menurunkan angka perceraian.
“Kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kependudkuan perlu menjadi afirmasi. Bonus demografi merupakan keuntungan yang diperoleh dengan adanya percepatan pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan perubahan struktur umur penduduk, di mana penduduk usia produktif sangat besar. Kalau dalam teori sederhana itu, beban keluarga berada pada titik paling ringan,” ujar Tavip.
Sebagai lembaga pemerintah yang mendapat mandat dalam pengendalian penduduk dan pembangunan keluarga, Tavip mengungkapkan BKKBN berupaya membangun kesinambungan program pengendalian penduduk untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 20245 mendatang. Program-program tersebut meliputi penyusunan Blueprint Pembangunan Kependudukan, GDPK, Indeks Pembangunan Berwawan Kependudukan, Indeks Kepedulian terhadap Isu Kependudukan, Sistem Informasi Peringatan Dini Pengendalian Penduduk, Rumah Data Kependudukan (Rumah Dataku), Dapur Sehat Atasi Stunting (Dashat), dan Sekolah Siaga Kependudukan (SSK).
“Saya berharap teman-teman di sini mampu mengisi Rencana Strategis (Renstra) BKKBN. Karena rancangan teknoratisnya saat ini sudah ditetapkan Bappenas, tetapi nanti definitif Renstra tentu setelah RPJMN-nya ditetapkan presiden terpilih nanti Oktober. Maka, setelah Oktober itu akan ada penyesuaian renstra sesuai dokumen RPJMN yang ada. Itulah kenapa teman-teman hadir di sini, karena renstranya beda, beda-beda tipis,” ujar Tavip.
Dia tidak memungkiri selama ini kebijakan kependudukan kecenderuangannya seragam. Padahal, berdasarkan karakteristik daerahnya harusnya berbeda-beda. Dia mencontohkan, Provinsi DIY dengan empat kabupaten dan satu kota dengan Jabar dengan 27 kabupaten dan kota tentu tantangannya berbeda.
“Itulah kenapa hakikat pentingnya menyusun afirmasi policy di dalam sektor kependudukan,” tandas Tavip.
Transformasi Demografis
Di bagian lain, Tavip menjelaskan saat ini Indonedia berada di tengah transformasi demografis. Di mana, penduduk Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami laju penurunan. Indonesia yang kini menempati posisi keempat jumlah penduduk terbesar di dunia, dalam beberapa tahun ke depan akan mengalami pergeseran. Ini terjadi berkat penurunan TFR dan LPP. Sebaliknya, negara-negara lain di Afrika dan sekitarnya masih menunjukkan LPP tinggi.
“Ini menjadi tantangan Indonesia menuju Indonesia Emas. Walaupun kalau bicara bonus demografi itu kita sudah mepet. Kemungkinan bonus demografi bisa lepas jika kita tidak melakukan penyesuaian dengan kebijakan yang seharusnya. Kalau lepas, tentu isunya adalah bagaimana memanfatkan bonus demografi tahap II. Yakni, memanfaatkan momentum tingginya ageing population dengan menjadikannya produktif. Karena itu, masalah kita ke depan adalah ketimpangan sosial-ekonomi,” tegas Tavip.
Dia memaparkan, selama setahun terakhir data BPS menunjukkan penurunan kesmikinan ekstrem secara nasional. Situasi ini menjadi tantangan pemerintah dan masyarakat, khususnya terkait tenaga kerja berkualitas. Persentase pekerja informal di Indonesia sebesar 59,11 persen menjadi cerminan kualitas tenaga kerja masih rendah.
Sementara itu, angka prevalensi stunting antarkabupaten-kota masih bervariasi. Angka prevalensi stunting pada 2023 hanya 0,1 persen dari tahun sebelumnya. Saat ini sedang dipersiapkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024. Tavip menilai ini menjadi momentum penting, apakah angka stunting akan turun signifikan atau tidak.
“Salah satu contoh yang cukup memprihatinkan kita semua, ketika kemarin dilakukan pengukuran dan evaluasi stunting, ternyata ditemukan 5 juta balita masalah gizi. Tapi sayang intervensinya baru berjalan 14 persen. Saya kira ini menjadi tantangan kita bersama ketika spiritnya betul-betul ingin menurunkan angka stunting. Karena itu, saya titip kita tidak cukup hanya melakukan pengkuran, tidak cukup kampanye perubahan perilaku, tapi yang terutama adalah bagaimana memastikan terdeliver-nya pemberian makanan tambahan (PMT), pemberian tablet tambah darah (TTD), imunisasi, dan lain-lain,” papar Tavip.