KlopakIndonesia – Dalam forum negosiasi perdagangan bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat yang digelar awal pekan ini, isu sistem pembayaran domestik Indonesia kembali mencuat. Delegasi Amerika Serikat secara khusus menyinggung keberadaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) sebagai potensi hambatan terhadap akses pasar penyedia layanan keuangan asing.
Kekhawatiran AS didasarkan pada asumsi bahwa dominasi sistem pembayaran domestik Indonesia dapat mengurangi ruang masuk bagi perusahaan asing seperti Visa, Mastercard, dan platform dompet digital global lainnya. Dalam pernyataannya, perwakilan AS menyebutkan bahwa regulasi yang mengarahkan transaksi ke jaringan nasional bisa berdampak pada fair competition dan keterbukaan pasar digital.
Data dan Capaian Sistem Pembayaran Domestik
Sejak diluncurkan oleh Bank Indonesia, QRIS telah mengalami pertumbuhan signifikan. Hingga Desember 2024, QRIS telah digunakan oleh lebih dari 35 juta merchant, dengan penetrasi yang menjangkau 99% kabupaten/kota di Indonesia. Transaksi menggunakan QRIS mencapai Rp 212,4 triliun sepanjang tahun 2024, naik lebih dari 80% dibanding tahun sebelumnya.
Sementara itu, GPN, yang diluncurkan sejak 2017, telah menciptakan jaringan switching domestik yang mengurangi ketergantungan pada sistem asing. Menurut data Bank Indonesia, lebih dari 80% transaksi debit domestik kini diproses melalui jaringan GPN, menghasilkan efisiensi biaya hingga 30% bagi perbankan nasional.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dalam pernyataan terpisah menyebutkan bahwa sistem ini merupakan “pilar penting dalam kedaulatan sistem pembayaran nasional yang efisien, aman, dan inklusif.”
Respons Pemerintah Indonesia
Menanggapi sorotan AS, pemerintah Indonesia menegaskan bahwa QRIS dan GPN tidak dimaksudkan untuk membatasi akses pelaku asing, melainkan untuk memastikan stabilitas, efisiensi, dan kemandirian dalam ekosistem pembayaran digital. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyatakan bahwa Indonesia tetap membuka kerja sama internasional, namun dengan prinsip keberimbangan dan perlindungan terhadap infrastruktur strategis nasional.
“Dalam ekonomi digital yang berkembang pesat, negara seperti Indonesia membutuhkan kontrol terhadap jalur transaksi dan data. Ini bukan bentuk proteksi, melainkan hak atas kedaulatan ekonomi,” ujarnya dalam konferensi pers.
Konteks Global
Sorotan AS terhadap kebijakan digital di negara-negara mitra dagangnya bukan hal baru. Dalam beberapa tahun terakhir, Washington juga melayangkan kritik serupa terhadap India dan Tiongkok yang menerapkan kebijakan lokalisasi data dan sistem pembayaran nasional.
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan potensi ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara (diperkirakan mencapai USD 130 miliar pada 2025), menjadi perhatian strategis bagi pelaku global dalam sektor teknologi keuangan.