Dari sekitar 5.000 sekolah di Jawa Barat, baru 1.847 atau sekitar persen saja yang menyandang predikat sekolah penggerak. Kepala Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Jawa Barat Sri Wahyuningsih mendorong para kepala sekolah pada Program Sekolah Penggerak (PSP) untuk melakukan pengimbasan kepada sekolah-sekolah di sekitar sekolahnya. Hal ini penting agar transformasi pendidikan melalui peningkatan kualitas berlangsung lebih cepat.
“Dari angkatan pertama sampai keempat, tercatat sudah 1.847 satuan pendidikan di Jawa Barat menjadi Sekolah Penggerak. Sebanyak 456 di tingkat PAUD, 760 SD, 50 SLB, 418 SMP, dan 163 SMA. Kami di Kemendikbudristek berharap predikat sekolah penggerak berimbas kepada sekolah-sekolah di sekitar. Melakukan pengimbasan sudah menjadi kwajiban sekolah penggerak,” ungkap Sri Wahyuningsih saat ditemui di sela Forum Pemangku Kepentingan PSP Provinsi Jawa Barat di Harris Hotel and Convention Center, Kota Bandung, pada Selasa (30/7/2024).
Forum Pemangku Kepentingan PSP berlangsung selama tiga hari, 29-31 Juli 2024, diikuti para kepela sekolah di sekolah penggerak, kepala dinas yang membidangi pendidikan kabupaten dan kota se-Jawa Barat, unsur yang mewakili Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), anggota komisi yang membidangi pendidikan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Dewan Pendidikan Jawa Barat, dan sejumlah pihak terkait lainnya. Pada pertemuan ini, BBPMP Jabar mengajak sekolah penggerak untuk melakukan refleksi dan berbagi praktik baik (good practices), review capaian progress transformasi satuan pendidikan, dan penyusunan rencana aksi percepatan transformasi satuan pendidikan melalui PSP sebagai penggerak komunitas belajar.
Sri Wahyuningsih menegaskan, sesuai kebijakan Merdeka Belajar yang digulirkan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), setiap daerah wajib memiliki sekolah penggerak. Sekolah ini yang kemudian diharapkan mampu menjadi tali perubahan bagi sekolah sekitar dalam melakukan transformasi satuan pendidikan sekaligus meningkatkan kualitas pendidikan di daerah. Karena itu, sekolah penggerak tidak dipilih dari sekolah-sekolah yang sebelumnya sudah menyandang predikat terbaik, melainkan diseleksi berdasarkan visi kepala sekolah dalam memajukan satuan pendidikan.
Pada saat yang sama, sekolah penggerak menjadi satuan pendidikan pertama yang menerapkan Kurikulum Merdeka. Para kepala sekolah dituntut menjadi lokomotif perubahan dalam melakukan transformasi satuan pendidikan yang dipimpinnya. Kepala sekolah dituntut lebih adaptif terhadap perubahan dan senantiasa menyusun perencanaan berdasarkan data, seperti rapor pendidikan, hasil assesmen, dan lain-lain.
“Sudah ada rapor pendidikan, tapi belum digunakan sepenuhnya oleh satuan pendidikan. Sekolah Penggerak harus menggunakan data dari rapor pendidikan, hasil assesmen, dan lain-lain. Ini penting karena belum 100 persen sekolah penggerak melakukan perencanaan berbasis data. Diharapkan semua satuan pendidikan melakukan perencanaan berbasis data,” tandas Sri Wahyuningsih.
Dalam konteks peningkatan kualitas belajar, Sri meminta sekolah penggerak memanfaatkan fasilitas teknologi informasi yang telah disiapkan pemerintah. Bagi Sri, digitalisasi sekolah merupakan sebuah keniscayaan. Dia mewanti-wanti agar perangkat yang disiapkan pemerintah dimanfaatkan dan dioptimalkan penggunaannya.
“Sistem pembelajaran harus berubah. Kepala sekolah harus mampu mengubah pola belajar baru dan menghadirkan sumber belajar bervariasi. Anak-anak harus diberikan fasilitas. Pinjamkan perangkat-perangkat TIK kepada peserta didik. Jangan takut alat tersebut rusak. Lebih baik alat rusak karena digunakan daripada rusak karena terlalu lama disimpan dan tidak digunakan,” tegas Sri Wahyuningsih.
Lebih jauh dia menjelaskan bahwa upaya transformasi pendidikan tidak akan berhasil manakala Kemendikbudristek berjalan sendirian. Karena itu, pihaknya mengajak para pemangku kepentingan di daerah untuk bersama-sama bergerak sesuai kewenangan yang diamanatkan undang-undang. Transformasi pendidikan, sambung Sri, hanya bisa dilakukan manakala para pemangku kepentingan berkolaborasi dan berbagi peran.
Sri meminta secara khusus kepada pimpinan daerah agar kepala sekolah di sekolah penggerak tidak diganti di tengah jalan. Jika kemudian terpaksa dilakukan pergantian, maka penggantinya harus berasal dari guru penggerak (GP). Pergantian kepala sekolah olah guru penggerak dilakukan untuk menjamin kesinambungan PSP di satuan pendidikan bersangkutan.
“Dari 1.847 tadi, diharapkan kepala sekolah tidak diganti di tengah jalan. Tapi promosi boleh. Diganti boleh tapi penggantinya dari GP. Saya katakan demikian karena ada 52 kepala sekolah PSP di Jabar tidak diganti oleh GP. Akibatnya, kami kesulitan dalam melakukan rekognisi. Kita sedang berjuang melalui Permendikbud agar GP bisa diprioritaskan jadi kepala sekolah atau pengawas,” ungkap Sri.
PPDB Berkualitas
Di tempat yang sama, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat Ade Afriandi berharap seluruh sekolah di Jawa Barat bisa bertransformasi menjadi sekolah penggerak. Dengan demikian, kelak tidak ada lagi dikotomi antara sekolah unggulan dengan nonunggulan karena semua sekolah penggerak pada dasarnya merupakan sekolah unggulan. Ade mengklaim upaya menjadikan sekolah unggulan sudah diawali dengan melaksanakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) secara berkualitas.
“Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat berharap PSP mampu memperkuat pendidikan di Jawa Barat. Karena itu, Pemdaprov Jabar dalam pelaksanaan PPDB 2024 kita mulai dengan tidak ada titipan, tidak ada rekomendasi, tidak ada transaksi. Ini bentuk komitmen Pemdaprov Jabar untuk mewujudkan pendidikan berkualitas yang diawali dengan PPDB yang jujur,” ungkap Ade.
Ade mengaku sedih dengan pelaksanaan PPDB yang baru saja usai. Kesedihan Ade dating karena sampai saat ini pihaknya masih mendapat intimidasi dan tekanan dari sejumlah pihak. Masih ada orang tua yang ngotot agar anaknya diterima di sekolah negeri.
“Dalam Forum Pemangku Kepentingan ini, dalam PPDB jujur, itu adalah awal membangun sekolah di Jabar menjadi mulia. Semua bisa menerima apa yang sudah menjadi takdir. Tidak sedikit yang tidak menerima diterima negeri. Bagaimana dengan swasta, ada tidak mau sekolah di swasta. Karena itu, melalui PSP harapannya semua sekolah di Jabar adalah PSP. Dengan demikian, tidak ada lagi sekolah unggulan dan bukan unggulan, sehingga dalam PPDB tidak ada lagi dikotomi sekolah pengerak dan bukan penggerak,” tambah Ade.
Sementara itu, Widyaprada Ahli Utama Jayeng Baskoro yang menjadi person in charge (PIC) PSP Kemendikbudristek menjelaskan, PSP tidak muncul begitu saja. PSP hadir atas keresahan dengan kualitas pendidikan. Terutama selama masa pandemi Covid-19. PSP merupakan upaya mengejar ketertinggalan pendidikan di Indonesia.
“Sebelum Covid-19 pun kualitas perlu ditingkatkan. Dan, (kualitas pendidikan) makin turun ketika Covid-19. Maka, salah satu strategi adalah menyelengarakan PSP. PSP fokus kita pada sekolah. Difokuskan lagi pada kapasitas kepala sekokah, guru, dan pengawas. Tiga hal ini yang mengawal layanan kualitas pembelajaran kita,” papar Jayeng.
“Pemerintah pusat tentu tidak mampu untuk meningkatkan kapasitas KS, guru, dan pengawas sendirian. Sampai saat ini pun laporan dari seluruh Indonesia masih memiliki kekurangan. Salah satu unggulan PSP adalah menjadikan GP sebagai kepala sekolah. Mereka sudah dilatih, diberikan pendampingan. Dengan adanya kualitas guru dan tendik, diharapkan ada transformasi. Tidak mudah. Ini memerlukan dukungan semua,” Jayeng menambahkan.(NJP)