Rangkaian kegiatan haji tahun ini, nyaring sisakan komplain, termasuk dari Jamaah Haji Jawa Barat. Mulai komplain proses keberangkatan yang menghubungi langsung penulis, dan terutama keluhan prosesi puncak haji di Armuzna/Armina (Arafah, Muzdalifah, dan Mina) yang viral, baik di media massa/media sosial. Sampai-sampai Kementerian Agama (Kemenag) RI dan Kementerian Haji Arab Saudi sepakat membentuk tim investigasi mengusut persoalan tersebut. Kesepakatan itu tercapai pasca pertemuan dua kali Menag RI Yaqut Cholil Qoumas dengan Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi Taufik F Al Rabiah.
Kemudian mengemuka bahwa penyebab utama, kita sebut saja Tragedi Armuzna, adalah kompetensi Mashariq (Motawifs Pilgrims for South-East Asia Countries Company), perusahaan investasi Saudi untuk pelayanan haji dan umrah yang bermarkas di Makkah.
Sorotan ke Mashariq untuk Arafah dan Mina adalah kapasitas tenda dan kamar mandi yang tidak sesuai jumlah jamaah. Banyak jamaah tidak tertampung di tenda Mina serta antrian ke kamar mandi demikian menyiksa serta tidak proporsional untuk jamaah perempuan sebagai jamaah terbanyak. Ditambah lagi manajemen penempatan jamaah saat kedatangan sangat acak-acakan karena ditemukan antar jamaah rebutan. Kita dibuat sedih lihat video lansia sampai istirahat di luar tenda padahal suhu sedang panas-panasnya. Ini semua makin repot, ketika konsumsi dan manajemen distribusinya pun kacau padahal jamaah letih pasca ibadah inti haji.
Sementara sorotan ke Mashariq di Mudzalifah adalah terlambatnya evakuasi jemaah haji Indonesia dengan jemaah baru bisa berangkat jam 13.30 waktu Arab Saudi dari keharusan maksimal jam 08.00 pagi! Hal ini menyebabkan jemaah kepanasan, padahal suhu di atas 35 celcius. Mashariq gagal memenuhi target segera membawa jemaah haji Indonesia dari Muzdalifah ke Mina. Manajemen transportasi, khususnya kasus Bis Taradudi, tidak disiapkan mitigasinya sekalipun Tim Pengawas Haji DPR sudah ingatkan saat rapat persiapan Armuzna.
Tim Legislator itu juga menemukan, jamaah haji lansia kurang diperlakukan layak padahal ada hampir 70 ribu jamaah haji lansia berdasarkan data Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) Kemenag. Sekalipun layanan kendaraan khusus lansia bahkan penyandang disabilitas sudah ada tapi dinilai belum optimal. Penulis mendegar banyak pendamping haji yang menggendong jemaah lansia dan penyandang disabilitas akibat minimnya armada transportasi.
Melihat ini semua, publik wajar bertanya: Apakah semuanya ini salah Mashariq? Mengapa tahun ini terjadi aneka insiden ketika bea haji sudah dinaikkan dari Rp. 35 juta menjadi hampir Rp. 50 juta? Izinkan penulis memberi empat catatan penting penyelenggaraan Haji tahun 2023 ini.
Pertama, Kemenag masih belum komprehensif memitigasi problematika pelaksanaan Armuzna terutama pada salah satu akar masalahnya sejak lama yakni keberadaan ‘Haji Koboi’ asal Indonesia. Yakni jemaah yang tak menggunakan visa haji namun mereka datang dari Indonesia dengan visa ziarah.
Yandri Santoso, salah satu Tim Pengawas Haji DPR dari Fraksi PAN mensinyalir, jumlah haji penyerobot tersebut sampai 500 ribu jemaah dan mereka dilaporkan turut menggunakan fasilitas jemaah visa haji seperti bus selawat, masuk tenda Arafah dan Mina, hingga mengambil jatah makan. Karena praktik ini berulang-ulang, patut diduga ada kongkalikong oknum Indonesia dan Arab Saudi memfasilitasi keberangkatan jemaah bervisa ziarah itu.
Karena itu, penulis mendesak Kemenag dan unsur kementerian lainnya harus bisa membasmi oknum yang bermain dalam ‘Haji Koboi’ ini. Termasuk meminta pihak Arab Saudi untuk turut memberantas jemaah haji bervisa ziarah dalam sebuah sistem yang ketat, sehingga tidak terjadi insiden haji serupa ke depannya.
Kedua, Kemenag agar tidak terus terfokus meningkatkan jumlah kuota haji yang terus naik setiap tahunnya namun di saat bersamaan tidak ketat mengawasi mitra kerja asal Saudi seperti Mashariq tadi. Terbukti tahun ini, sekalipun di rapat persiapan sudah dibicarakan, ketika pelaksanaan di lapangan, tetap saja tidak berjalan.
Penambahan kuota memang penting karena di tahun 2023 ini saja, dengan setoran awal mendaftar haji Rp 25 juta, maka diperkirakan baru berangkat antara 11-47 tahun ke depan. Akan tetapi, fokus mengurangi antrean ini harus setara fokus penambahan/penjagaan fasilitas, sehingga para tamu Allah tahun berikutnya tak lagi kurang makan/minum/air MCK/space tenda, dst.
Ketiga, tingkatkan rasa tanggungjawab punggawa Kemenag pada calon jamaah dan jamaah manakala biaya haji jemaah Indonesia tahun 2023sudah naik Rp. 49,81 juta atau 55,3% dari biaya keseluruhan sekitar Rp. 100 juta. Ketika subsidi negara terus direduksi, sudah selayaknya pelayanan negara ditingkatkan.
Janganlah banyak komplain yang penulis terima, lalu diteruskan ke pimpinan Kemenag, maka baru tersolusikan. Bagaimana jika –dan ini memang terjadi– lebih banyak warga Jawa Barat yang tak punya akses ke Kemenag melalui jalur resmi dan kemitraan seperti penulis di IPHI Jabar?? Keempat, tingkatkan soliditas Kemenag dalam semua derap terkait pelaksanaan haji ke depannya. Dengan Dirjen Haji dari open bidding dengan hasil di luar orang Kemenag, resiko ketidakpatuhan mungkin terjadi. Ego sektoral picisan semacam itu segeralah kikis, karena sama saja dengan mengutamakan diri- golongan di atas kepentingan bangsa-negara.
Oleh: Dr. H. Ijang Faisal, M.Si
Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Provinsi Jawa Barat