Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali menjadi sorotan publik dunia setelah merilis laporan terbaru pada Juli 2025 yang memuat daftar sejumlah perusahaan global yang diduga terlibat dalam mendukung pendudukan Israel atas wilayah Palestina, sekaligus memperoleh keuntungan dari agresi militer di Jalur Gaza. Laporan ini disusun oleh Pelapor Khusus PBB untuk wilayah Palestina yang diduduki, Francesca Albanese, dan menyebut lebih dari 60 perusahaan yang disebut “mendapat untung dari genosida.”
Berbeda dari laporan PBB sebelumnya pada tahun 2020 yang hanya menyoroti aktivitas ekonomi di permukiman ilegal Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, laporan terbaru ini memperluas cakupan dengan memasukkan perusahaan-perusahaan yang berperan langsung maupun tidak langsung dalam operasi militer, pasokan senjata, teknologi pengawasan, hingga dukungan finansial terhadap agresi Israel di Gaza sejak 7 Oktober 2023.
Sejumlah perusahaan industri pertahanan besar dunia masuk dalam daftar. Lockheed Martin, misalnya, disebut sebagai pemasok utama jet tempur F-35I yang digunakan dalam berbagai serangan udara di Gaza. Perusahaan teknologi asal Italia, Leonardo, juga dikritik karena memasok sistem senjata canggih yang digunakan oleh militer Israel. Nama-nama lainnya seperti Caterpillar dan HD Hyundai dilaporkan menyediakan alat berat yang digunakan dalam penghancuran infrastruktur sipil di wilayah Palestina. Bahkan Oshkosh Corporation, produsen kendaraan militer asal Amerika Serikat, masuk dalam sorotan setelah pemerintah Norwegia mengumumkan penarikan investasinya akibat keterlibatan perusahaan ini dalam penjualan alat militer ke Israel.
Laporan ini juga menyoroti peran penting perusahaan teknologi besar dalam mendukung sistem intelijen dan militer Israel. Palantir Technologies disebut menyediakan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang digunakan dalam penargetan serangan militer. Microsoft dan Amazon (AWS) turut dikritik karena terlibat dalam penyediaan layanan komputasi awan yang digunakan militer Israel untuk menyimpan dan menganalisis data intelijen. Alphabet (induk perusahaan Google) juga dituduh melalui kerja samanya dalam “Project Nimbus” yang dilaporkan memberi dukungan digital untuk operasi militer.
Tak hanya dari sektor pertahanan dan teknologi, laporan PBB juga menyebut peran sejumlah lembaga keuangan besar dunia. Perusahaan-perusahaan seperti BNP Paribas, Barclays, dan PIMCO (anak usaha Allianz) disebut terlibat dalam penerbitan dan pembelian obligasi pemerintah Israel, yang digunakan untuk membiayai kebutuhan perang. BlackRock dan Vanguard juga masuk dalam daftar karena investasi besar mereka di berbagai perusahaan senjata yang mendukung mesin perang Israel.
Laporan ini menuai beragam tanggapan dari komunitas internasional. Sejumlah negara dan organisasi masyarakat sipil menyambutnya sebagai langkah penting menuju akuntabilitas dan transparansi, khususnya bagi korporasi global yang mengambil keuntungan dari konflik bersenjata dan pelanggaran hak asasi manusia. Di sisi lain, pemerintah Israel dan sebagian besar perusahaan yang disebut dalam laporan ini menolak tuduhan tersebut, menyatakan bahwa mereka hanya menjalankan kegiatan bisnis yang sah sesuai hukum masing-masing negara.
Namun, Francesca Albanese dalam laporannya menegaskan bahwa keterlibatan perusahaan-perusahaan ini tidak dapat dipisahkan dari realitas penindasan terhadap rakyat Palestina. Menurutnya, keterlibatan bisnis yang menyediakan teknologi, logistik, atau dukungan keuangan terhadap pendudukan atau agresi militer, merupakan bagian dari pelanggaran serius terhadap hukum internasional.
Laporan ini diharapkan memperkuat tekanan global terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat, sekaligus mendorong masyarakat internasional—termasuk konsumen dan investor—untuk bersikap lebih kritis terhadap keterlibatan korporasi dalam konflik bersenjata. Gerakan boikot terhadap merek-merek yang disebut dalam laporan pun semakin menguat di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Dengan terbitnya laporan ini, PBB menegaskan bahwa perang dan pendudukan bukan hanya persoalan militer dan diplomasi, tetapi juga erat kaitannya dengan jaringan bisnis global yang selama ini bekerja di balik layar. Dunia kini dihadapkan pada pertanyaan moral yang lebih luas: sejauh mana kita membiarkan korporasi meraup keuntungan dari penderitaan kemanusiaan?
Jika ingin artikel ini disertai ilustrasi, infografis, atau versi ringkas untuk media sosial, saya siap bantu lanjutkan.