Fakta mengejutkan terungkap dari laporan pengawasan distribusi beras bersubsidi pemerintah. Sekitar 80 persen beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) yang seharusnya diperuntukkan bagi rakyat berpenghasilan rendah, diduga dioplos dan dijual kembali sebagai beras premium dengan harga jauh lebih tinggi. Praktik ini menyebabkan kerugian besar bagi konsumen, mencapai Rp99 triliun per tahun.
Temuan ini disampaikan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Perum Bulog, yang tengah melakukan penelusuran mendalam terhadap rantai distribusi beras SPHP. Direktur Utama Perum Bulog, Bayu Krisnamurthi, dalam sebuah pernyataan mengatakan bahwa indikasi kuat praktik pengoplosan terjadi di hampir seluruh wilayah distribusi, dari tingkat grosir hingga pengecer modern.
“Modusnya sederhana namun merugikan. Beras SPHP dikemas ulang dengan branding baru, diberi label premium, lalu dijual dengan selisih harga mencapai dua kali lipat. Ini jelas bukan sekadar pelanggaran, tapi kejahatan pangan yang terorganisir,” ujar Bayu.
Sebagai informasi, harga eceran tertinggi (HET) beras SPHP saat ini berada di kisaran Rp10.900 per kilogram, sedangkan beras premium di pasaran bisa menyentuh Rp15.000–Rp17.000 per kilogram. Dengan total distribusi SPHP sekitar 1,8 juta ton per tahun, potensi markup harga dari praktik oplosan ini bisa mencapai Rp55–99 triliun jika dikonversi secara nasional.
Menteri Perdagangan dan Badan Pangan Nasional saat ini tengah menyusun langkah hukum dan penguatan sistem pengawasan di tingkat daerah. Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan pelabelan khusus, seperti “beras subsidi pemerintah – dilarang diperjualbelikan kembali” pada kemasan SPHP untuk mencegah penyalahgunaan.
Di sisi lain, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Pangan Indonesia, Dr. Rizal Santoso, menyebut bahwa celah utama dari praktik pengoplosan ini adalah lemahnya kontrol di titik distribusi, khususnya setelah beras SPHP keluar dari gudang Bulog.
“Begitu sampai ke tangan mitra distribusi, kontrol nyaris lepas. Pelabelan pun mudah diganti. Harus ada sistem digitalisasi distribusi dan pelacakan berbasis QR Code agar publik bisa turut mengawasi,” ujar Rizal.
Konsumen menjadi pihak paling dirugikan. Selain harus membeli beras dengan harga premium yang seharusnya lebih murah, program bantuan pangan pemerintah juga menjadi tidak tepat sasaran, karena subsidi justru dinikmati oleh pelaku pasar yang curang.
Pemerintah berjanji akan memperbaiki sistem distribusi SPHP dan memperketat sanksi pidana bagi pihak yang terbukti mengoplos. Di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil, akses terhadap pangan terjangkau adalah hak masyarakat, bukan celah untuk meraup keuntungan dengan cara tidak sah.
Editor: Redaksi