Mengapa Kamboja dan Thailand Berperang?
Kamboja dan Thailand kembali terlibat konflik bersenjata pada Juli 2025 karena kombinasi dari sengketa perbatasan lama, insiden militer yang memicu bentrokan, serta ketegangan politik bilateral yang terus memburuk. Berikut penjelasannya:
1. Sengketa Perbatasan yang Belum Tuntas
Wilayah yang disengketakan terutama berada di sekitar Candi Preah Vihear, situs warisan dunia UNESCO yang berada di perbatasan provinsi Si Sa Ket (Thailand) dan Preah Vihear (Kamboja). Pada tahun 1962, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa candi tersebut milik Kamboja, namun batas wilayah di sekitarnya tidak dijelaskan secara rinci. Hal ini membuat kedua negara memiliki interpretasi berbeda tentang batas resmi, dan ketegangan telah berlangsung selama beberapa dekade.
2. Insiden Ranjau dan Bentrokan Militer
Konflik terbaru dipicu oleh insiden pada 24 Juli 2025, saat Kamboja menuduh pasukan Thailand melintasi perbatasan dan meledakkan ranjau di wilayahnya. Thailand membantah dan menyebut insiden itu sebagai provokasi dari pihak Kamboja. Kontak senjata pun terjadi di beberapa titik perbatasan, menyebabkan puluhan korban tewas dan ratusan ribu warga mengungsi.
3. Faktor Politik dan Nasionalisme
Di Thailand, pemerintahan sementara setelah pemilu 2025 dinilai oleh sebagian pengamat menggunakan ketegangan ini untuk memperkuat dukungan politik domestik. Sementara itu, Perdana Menteri Kamboja Hun Manet juga menghadapi tekanan dalam negeri dan dituduh menggunakan isu perbatasan untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah internal. Di kedua negara, sentimen nasionalisme memperkuat dukungan terhadap aksi militer.
4. Lemahnya Mekanisme Pencegahan Konflik
Kedua negara pernah membentuk Komite Perbatasan Umum sebagai saluran komunikasi militer, namun badan ini tidak aktif ketika insiden terjadi. ASEAN sendiri belum memiliki mekanisme penanganan konflik bersenjata yang kuat, sehingga eskalasi sulit dicegah dengan cepat.
Konflik ini merupakan kelanjutan dari sengketa lama yang belum terselesaikan secara tuntas, diperburuk oleh insiden di lapangan, tekanan politik dalam negeri, dan kurangnya mekanisme penanganan krisis yang efektif. Meskipun gencatan senjata telah tercapai, potensi konflik di masa depan tetap ada selama akar masalah tidak diselesaikan secara diplomatik.