KlopakIndonesia – Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Jawa Barat masih menjadi persoalan serius. Berdasarkan data dari Simfoni PPA dan UPTD PPA Jawa Barat, sepanjang tahun 2024 tercatat 985 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, serta 288 kasus terhadap anak perempuan. Jika ditotal dengan korban anak laki-laki, jumlahnya mendekati angka 1.600 kasus.
“Yang paling miris, kekerasan sering dilakukan oleh orang terdekat, bahkan anggota keluarga sendiri,” ungkap Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jabar, Siska Gerfianti, Selasa, 22 Juli 2025.
Siska, yang akrab disapa Doksis, menjelaskan bahwa pelaku kekerasan terhadap perempuan umumnya berasal dari lingkungan sekitar yang dikenal korban. Hal ini menunjukkan pentingnya peran pengasuhan keluarga sebagai tameng pertama dalam mencegah kekerasan seksual.
Menurutnya, selain faktor pengasuhan, kondisi keamanan lingkungan juga menjadi penyebab utama maraknya kekerasan seksual. Ia mengimbau agar orang tua dan masyarakat lebih waspada, terutama terhadap potensi bahaya yang mengintai anak perempuan di ruang publik.
“Nah, jadi maksudnya begini, kalau sudah malam hari, tolonglah anak perempuan jangan jalan sendiri. Jangan juga hang out malam-malam ke tempat yang keamanannya tidak terjamin, apalagi tanpa pendamping keluarga atau orang yang bertanggung jawab,” ujarnya.
Doksis juga menyoroti bahwa tingginya angka kekerasan seksual kerap ditemukan di keluarga yang tidak harmonis. Banyak korban berasal dari anak-anak yang ditinggal salah satu orang tua, atau yang diasuh oleh ayah sambung maupun kerabat karena orang tuanya menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Sebagai bentuk pencegahan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah memberlakukan jam malam bagi anak-anak, yaitu mulai pukul 21.00 hingga 04.00 WIB. Dalam kurun waktu tersebut, anak-anak tidak diperkenankan berada di luar rumah tanpa pengawasan.
Ia juga menyesalkan adanya stigma negatif terhadap korban kekerasan seksual yang justru memperburuk kondisi psikologis mereka. “Misalnya ada kasus kekerasan, sering kali yang disalahkan malah korbannya. Dengan kalimat seperti ‘kamu sih bajunya terlalu ketat’ atau ‘kamu sih macam-macam’. Ini sangat keliru,” tegasnya.
Menurut Doksis, sudah saatnya masyarakat berpihak pada korban. Dukungan moral dan sosial sangat penting untuk membantu proses pemulihan, tanpa memandang jenis kelamin.
Sebagai upaya konkret, DP3AKB Jabar meluncurkan program Jabar Cekas (Jawa Barat Berani Cegah Tindak Kekerasan), yang terdiri dari lima prinsip utama: berani melapor, berani berkata tidak, berani maju, berani menolak, dan berani berpihak pada korban. Selain itu, mereka juga menggagas berbagai program preventif seperti Sekolah Pernikah, Sekolah Parenting, Sekolah Perempuan Jawa Barat, serta gerakan Stop Perkawinan Anak (STOP Panjabar).
“Kalau ada masyarakat yang merasa tidak nyaman karena mengalami bullying atau kekerasan, bisa segera melapor ke UPTD PPA, layanan SAPA 129, atau hotline di nomor 085-222-206-777,” pungkasnya.