klopakindonesia.com – Konflik di Timur Tengah kembali memasuki babak baru setelah Israel melancarkan serangan udara ke ibu kota Yaman, Sanaa, pada Kamis (28/8/2025). Serangan tersebut menewaskan Perdana Menteri Houthi, Ahmed Ghaleb Nasser al-Rahawi, bersama sejumlah menteri senior kabinetnya. Peristiwa ini disebut sebagai serangan paling besar yang langsung menyasar kepemimpinan politik Houthi sejak kelompok tersebut mengambil alih kendali di Yaman utara.
Militer Israel menyebut operasi ini sebagai serangan presisi terhadap target militer yang menurut mereka berperan dalam mendukung aksi teror terhadap Israel dan jalur pelayaran internasional. Namun, korban jiwa yang jatuh mencakup tokoh sipil dalam pemerintahan Houthi, termasuk menteri energi, luar negeri, informasi, keadilan, pemuda, sosial, hingga ketenagakerjaan. Diperkirakan hampir setengah jajaran kabinet Houthi gugur dalam serangan tersebut.
Kematian al-Rahawi menjadi pukulan besar bagi kelompok Houthi, namun tidak lama setelah itu Dewan Politik Tertinggi Houthi menunjuk Muhammad Ahmed Miftah, wakil perdana menteri, sebagai penjabat perdana menteri baru. Penunjukan ini dianggap sebagai langkah cepat untuk menjaga stabilitas internal dan melanjutkan konsolidasi kekuasaan.
Ribuan warga Yaman kemudian memadati Masjid Al-Saleh di Sanaa pada 1 September untuk menghadiri pemakaman al-Rahawi dan pejabat lainnya. Dalam kesempatan tersebut, Presiden Dewan Politik Tertinggi Houthi, Mahdi al-Mashat, bersumpah akan membalas kematian mereka. Tak lama setelah itu, kelompok Houthi melakukan aksi provokatif dengan menyerbu kantor PBB di Sanaa dan Hodeidah, menyita aset, serta menahan sebelas staf internasional. Langkah ini memicu kecaman luas dari dunia internasional dan semakin memperbesar potensi eskalasi konflik.
Sejak pecahnya perang Israel-Hamas pada 2023, kelompok Houthi aktif melancarkan serangan ke wilayah Israel serta menarget kapal-kapal di Laut Merah sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina. Serangan Israel yang menewaskan perdana menteri Houthi kini menandai titik balik berbahaya yang dapat memperpanjang konflik sekaligus memperkeruh situasi di jalur pelayaran internasional yang vital bagi perdagangan global.