Selama beberapa dekade, nama Intel begitu lekat dengan dunia teknologi. Dari prosesor di komputer rumah, server bisnis, hingga perangkat mobile, dominasi Intel nyaris tak terbantahkan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kejayaan itu mulai memudar. Nilai pasar Intel merosot, pangsa pasarnya tergerus, dan reputasinya sebagai pionir teknologi perlahan tergantikan oleh nama-nama baru seperti AMD, Apple, dan NVIDIA.
Di balik kemunduran raksasa chip asal Amerika Serikat ini, terdapat sebuah ironi besar: kegagalan melihat dan merespons tren industri yang berubah cepat.
Terlambat Merespons Revolusi Mobile
Awal kemunduran Intel dapat ditelusuri sejak era kebangkitan smartphone. Ketika Apple memperkenalkan iPhone pertama pada 2007, disusul Android yang merajalela di dekade berikutnya, kebutuhan akan chip hemat daya dan efisien dalam perangkat mobile meningkat drastis. Namun, Intel tetap bertahan pada pendekatan tradisional: fokus pada prosesor desktop dan laptop bertenaga tinggi, yang konsumsi dayanya besar.
Intel sempat mencoba masuk ke pasar mobile melalui lini Intel Atom, namun gagal bersaing dengan chip ARM yang lebih efisien. Lebih dari itu, Intel bahkan menolak kesempatan untuk memasok chip bagi iPhone generasi awal, sebuah keputusan yang belakangan dinilai sebagai blunder strategis. Apple pun akhirnya membangun ekosistem sendiri berbasis ARM, dan kini memproduksi chip M-series yang mengungguli prosesor Intel dalam banyak aspek — performa, efisiensi, hingga suhu operasional.
Tertekan oleh AMD dan NVIDIA
Di sisi lain, AMD yang dulu dianggap “adik kelas” justru tampil sebagai penantang serius. Sejak merilis arsitektur Zen pada 2017, AMD berhasil menawarkan prosesor dengan performa tinggi dan efisiensi yang sebanding, bahkan dalam banyak kasus melampaui Intel — terutama di segmen multi-core dan server. AMD juga sukses merangsek ke pasar konsol (PlayStation dan Xbox), memperkuat posisinya sebagai pemasok penting dalam industri game.
Sementara itu, NVIDIA menjelma menjadi penguasa AI dan GPU. Ketika tren komputasi berpindah dari CPU ke GPU, Intel tampak gagap. NVIDIA dengan cepat menangkap peluang dalam kecerdasan buatan, data center, dan komputasi paralel, menjadikan GPU bukan hanya alat grafis, tetapi “mesin otak” masa depan.
Intel mencoba mengejar melalui akuisisi, seperti pembelian Mobileye dan Habana Labs, serta membangun unit GPU-nya sendiri (Intel Arc). Namun, respons pasar cenderung dingin. Inovasi Intel tak lagi terasa revolusioner, melainkan reaktif.
Krisis Internal dan Ambisi Terlalu Besar
Kendala Intel bukan hanya eksternal. Selama bertahun-tahun, perusahaan ini menghadapi berbagai tantangan manajerial, termasuk keterlambatan produksi chip 10nm dan 7nm, yang membuat mereka tertinggal jauh dari TSMC sebagai pemimpin manufaktur semikonduktor dunia. Padahal sebelumnya, Intel dikenal sebagai benchmark global untuk kemajuan proses fabrikasi.
Di bawah CEO Pat Gelsinger, Intel mencoba melakukan “kebangkitan kembali” lewat strategi IDM 2.0 — dengan membangun pabrik (foundry) untuk bersaing langsung dengan TSMC dan Samsung. Namun, langkah ini datang terlambat. Biaya investasi besar, kebutuhan modal yang membengkak, dan ketergantungan pada pasar PC yang stagnan membuat banyak analis meragukan keberlanjutan strategi ini.
Gagal Membaca Dunia yang Berubah
Pada akhirnya, kegagalan terbesar Intel bukanlah soal performa produk semata, melainkan ketidaksiapan menghadapi pergeseran paradigma. Dunia komputasi tak lagi berpusat pada PC atau laptop, tetapi pada cloud, mobile, AI, dan edge computing. Intel yang dulu berdiri di garis depan inovasi kini justru tampak tertatih mengejar perubahan.
Investor kehilangan kepercayaan. Konsumen tak lagi fanatik. Dan kompetitor terus berlari dengan kecepatan yang tak mampu dikejar.
Intel bukan satu-satunya perusahaan teknologi yang pernah jatuh, tetapi kasusnya menjadi pelajaran penting: bahwa dalam dunia teknologi, yang lambat membaca arah perubahan, akan tertinggal — bahkan meski mereka adalah raksasa.
Penulis: Redaksi Inikanaku.info
Editor: Saiful A.
Sumber: Bloomberg, The Verge, Ars Technica, CNBC Tech