Dalam kajian usul fikih, muncul berbagai pandangan terkait dengan konsep talfiq. Istilah ini merujuk pada pengertian mencampuradukkan pendapat para imam mazhab dalam satu amalan syar‘i. Muhammadiyah memiliki pandangan tersendiri mengenai talfiq.
Dalam Putusan Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke-25 tahun 2000 di Jakarta, talfiq dijelaskan sebagai penggabungan beberapa pendapat dalam satu perbuatan syar‘i. Talfiq ini terjadi dalam dua konteks utama: taqlid, yakni mengikuti pemikiran ulama tanpa mengetahui dalilnya, dan ittiba‘, yang berarti mengikuti pemikiran ulama dengan memahami dalil dan argumentasinya.
Sebagai organisasi yang tidak terikat dengan mazhab tertentu, Muhammadiyah membuka ruang bagi talfiq, asalkan dilakukan melalui proses tarjih, yaitu metode analisis yang digunakan untuk menetapkan hukum berdasarkan dalil yang paling kuat dan memiliki manfaat yang lebih besar. Di Muhammadiyah, tarjih telah berkembang maknanya dan bahkan disinonimkan dengan ijtihad. Secara institusional, Majelis Tarjih berperan sebagai lembaga ijtihad jama‘i yang bertugas menimbang berbagai pendapat ulama dengan kompetensi ilmiah dalam bidang usul fikih dan ilmu-ilmu terkait.
Bagi warga Muhammadiyah, ittiba‘ menjadi sikap dasar dalam menjalankan ajaran agama. Mereka diharapkan untuk mengikuti keputusan-keputusan persyarikatan dalam bidang agama dengan mengetahui dasar hukum dan cara pengambilan keputusan tersebut, seperti yang tercantum dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT).
Dalam hal ini, talfiq boleh digunakan setelah melalui proses tarjih oleh Majelis Tarjih. Hal ini memperlihatkan bahwa Muhammadiyah tetap menghargai keberagaman pendapat ulama, namun tidak serta-merta mencampurkan pendapat-pendapat tersebut tanpa kajian mendalam.
Contoh nyata dari pendekatan ini dapat dilihat dalam persoalan ibadah, khususnya salat. Muhammadiyah mengacu pada beberapa kaidah tentang hadis, seperti yang terdapat dalam Himpunan Putusan Tarjih: Kitab Beberapa Masalah nomor 21 Usul Fiqih. Salah satu contoh penerapannya adalah soal bacaan basmalah dalam surah Al-Fatihah saat salat. Menurut Muhammadiyah, bacaan basmalah dapat dibaca secara sirr (pelan) ataupun jahr (keras), sesuai dengan keputusan Munas Tarjih ke-27 di Malang tahun 2010.
Sementara itu, dalam hal qunut subuh, Muhammadiyah berpandangan bahwa dalil-dalil yang ada tidak memenuhi kriteria sebagai hadis yang dapat dijadikan hujjah. Hal ini dijelaskan dalam Himpunan Putusan Tarjih: Kitab Putusan Tarjih Wiradesa. Pendekatan semacam ini mencerminkan bagaimana Muhammadiyah berusaha mempertahankan sikap moderat dan rasional dalam mengamalkan ajaran agama, dengan tetap berlandaskan kajian ilmiah dan tarjih.
Dalam kesimpulannya, talfiq di Muhammadiyah bukanlah hal yang dilarang, namun harus melewati proses tarjih yang ketat. Ini memastikan bahwa setiap amalan yang dilakukan tetap berpijak pada dasar hukum yang jelas, tanpa harus terjebak pada fanatisme mazhab tertentu. Sikap ittiba‘ dan tarjih menjadi landasan utama dalam menjalankan ajaran Islam di Muhammadiyah.
Dikutip dari muhammadiyah.or.id