PAPS, nasib sekolah swasta dan standarisasi kebijakannya

Avatar photo

- Jurnalis

Rabu, 27 Agustus 2025 - 16:07 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Banyak program yang lahir dalam bentuk kebijakan yang terkesan spontanitas yang diluncurkan oleh Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat yang populer disapa KDM setelah dirinya dilantik dan disumpah menerima mandat untuk melayani masyarakat Jawa Barat yang berjumlah 48 juta jiwa

Beberapa contohnya tentang penertiban tata ruang yang tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, kebijakan larangan Study tour sampai yang terakhir kebijakan yang beririsan dengan pendidikan yaitu Program Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS).

PAPS sebagai sebuah kebijakan di ruang Pendidikan dengan nama yang sangat keren dan cenderung memunculkan makna bijak terutama bagi masyarakat yang rentan tidak melanjutkan sekolah.

Program PAPS ini dirancang untuk memastikan bahwa anak-anak dari keluarga kurang mampu atau berisiko putus sekolah tetap memiliki akses bersekolah di jenjang SD, SMP, SMA, SMK, maupun SLB.

Pertanyaan menggelitik, standar yang dipergunakan untuk jalur ini seperti apa ? Parameter penjaringan calon peserta didik dari jalur PAPS yang ditetapkan pun seperti apa ?

Bagi saya semua kebijakan haruslah menggunakan standar dan parameter yang jelas, terlebih lagi apabila penjaringan calon peserta didik bermuara pada golongan masyarakat kurang mampu.

Tentunya standar dan parameter itu idealnya menggunakan data based yang telah ada di kanal-kanal jaring sosial yang selama ini sudah ada di dinas terkait (Dinas Sosial) melalui program DTKS adalah Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. Ini adalah basis data yang dikelola oleh Kementerian Sosial (Kemensos) yang berisi informasi mengenai kondisi sosial ekonomi dan demografi dari 40% penduduk Indonesia dengan tingkat kesejahteraan terendah.

Baca Juga :  PHK MASSAL DI MEDIA MASSA DAN LAHIRNYA ANGKATAN DISPLACED JOURNALISTS

DTKS menjadi dasar untuk penyaluran berbagai bantuan sosial (bansos) dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan bantuan lainnya. Satu hal lain bahwa DTKS ini setiap waktu datanya terperbaharui melalui laporan yang disampaikan oleh kewilayahan mulai dari tingkat RT.

PAPS memang diyakini bagaikan oase di padang pasir terlebih bagi para orang tua yang anaknya mengharapkan diterima di sekolah negeri dengan berbagai alasan.

Namun sejauh apa program ini tepat sasaran ini menjadi pekerjaan rumah yang harus dievaluasi agar setiap kebijakan senantiasa tepat sasaran.

Selain itu program PAPS tentunya tidak hanya menjadi ruang yang mengakomodir harapan sebagian masyarakat namun menyisakan pola pelayanan pendidikan yang penuh tantangan.

Hal ini terjadi dikarenakan jumlah peserta didik di tiap kelas menjadi membengkak (50 orang) dan bahkan jauh dari kata ideal. Sementara pada satu sisi sudah ada regulasi yang mengatur tentang jumlah peserta didik untuk setiap rombel (Permendikbud No. 47 tahun 2023).

Kehadiran Permendikbud ini pun saya yakin tidak turun begitu saja tanpa ada kajian ilmiahnya namun berdasarkan penelitian dan kelayakan baik dari kalkulasi kesepadanan ukuran ruang kelas dengan jumlah siswa maupun secara psikologis bicara pengelolaan siswa oleh tenaga pendidik. Setiap ketidak seimbangan dipastikan akan melahirkan dampak yang tidak diharapkan. Selain itu penambahan jumlah siswa per rombel tanpa disadari memangkas kuota siswa untuk sekolah swasta yang selama ini bagi sebagian sekolah swasta keberadaannya sudah bagaikan hidup segan mati tak mau.

Baca Juga :  Ketika Lampu Studio Redup: Masa Depan Media Televisi di Tengah Gelombang Layoff

Bukankah kita menjadi salah satu saksi tentang SMA Taman Siswa Bandung yang hanya memiliki satu orang peserta didik ? Saya hanya berpikir sepertinya kebijakan keberpihakan yang dikeluarkan oleh setingkat gubernur justru harus memberikan kenyamanan dan rasa keadilan bagi semua pihak.

Lebih keren dan idealnya pemerintah justru harus memberikan stimulus bagi sekolah swasta untuk menjadi ruang pembelajaran bagi siswa yang tidak diterima di sekolah negeri dengan dukungan biaya operasional yang membebaskan peserta didik pada saat mengenyam pendidikannya karena substansi dari program PAPS adalah harapan pemerintah agar tidak ada anak yang putus sekolah. Sebuah kekhawatiran dengan adanya program PAPS yang mekanisme penjaringannya belum memiliki standarisasi justru melahirkan ketidakadilan karena bukan tidak mungkin ada masyarakat yang tergolong cukup mampu namun diterima di sekolah negeri melalui jalur ini. Saya kembali meyakini bahwa setiap program pemerintah pasti bermuara pada keberpihakan untuk masyarakat namun mekanismenya tetap harus ajeg pada nilai keadilan dan tentunya harus terus dievaluasi.

Penulis : Rahmat

Pemerhati pendidikan

Follow WhatsApp Channel klopakindonesia.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Insinerator dan peliknya masalah sampah Kota Bandung
Haji oh Haji
Nadiem oh Nadiem
Kisah tragis dari Kampung Cae, Janji Pemimpin dan kepekaan sosial
Tarif oh tarif
100 Hari Kepemimpinan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi masih bersipat Intuitif dan berpacu pada Konten Youtube
Ditunggu Langkah Nyata Dedi Mulyadi Untuk Menyukseskan Program Pendidikan 12 Tahun, Bukan Hanya Anak Nakal Yang Di Urus
India versus Pakistan

Berita Terkait

Jumat, 3 Oktober 2025 - 14:37 WIB

Insinerator dan peliknya masalah sampah Kota Bandung

Rabu, 10 September 2025 - 09:26 WIB

Haji oh Haji

Rabu, 10 September 2025 - 09:15 WIB

Nadiem oh Nadiem

Minggu, 7 September 2025 - 05:23 WIB

Kisah tragis dari Kampung Cae, Janji Pemimpin dan kepekaan sosial

Rabu, 27 Agustus 2025 - 16:07 WIB

PAPS, nasib sekolah swasta dan standarisasi kebijakannya

Berita Terbaru