Permasalahan sampah menjadi pekerjaan rumah yang cukup pelik bagi setiap kota dan kabupaten yang ada di negara kita.
Banyaknya penduduk berbanding lurus dengan jumlah timbulan sampah yang diproduksi oleh masyarakat itu sendiri.
Selain tingginya timbulan sampah, budaya pengelolaan sampah yang masih rendah menjadi koofesien lain yang membuat masalah sampah sulit terkondisikan.
Berbagai langkah dan upaya telah banyak dilakukan oleh pemerintah melalui SKPD terkait, baik dengan terus melakukan pendekatan edukasi dan sosialisasi budaya pengelolaan sampah sampah penyediaan fasilitas pengolahan sampah berbasis skala Komunitas masyarakat bahkan sampai ke tingkat rumah tangga.
Katakanlah dukungan sosialisasi dan edukasi dengan kemasan seminar, hadirnya pendamping sampai ke tingkat kecamatan, pembangunan fasilitas pengolahan sampah organik ( Bata terawang, loseda, Kang Empos, Biopori, Takakura, Magotisasi ), hadirnya bank sampah dan bahkan program pengelolaan sampah berbasis urban farming ( Buruan Sae ).
Terakhir Pemerintah kita Bandung mendorong upaya hadirnya Kawasan Bebas Sampah (KBS).
Semuanya itu sebagai komitmen dan keseriusan Pemerintah Kota Bandung terhadap penyelesaian masalah sampah.
*Kehadiran Insinerator*
Namun ada satu hal yang menarik, sebagai upaya lain yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah sampah, Pemerintah Kota Bandung dengan gencar membangun tungku pembakaran (insinerator) hampir di banyak titik.
Bahkan komunitas masyarakat pun mengambil langkah inisiatif dengan membuat tungku pembakaran (insinerator) sendiri.
Yang perlu mendapat perhatian besar bahwa manakala management pengurangan sampah belum dilaksanakan secara masif dan tidak begitu nampak kualitas dan kuantitas keberhasilannya maka dapat dibayangkan perlu berapa banyak insinerator untuk dipergunakan dalam pemusnahan sampah tersebut ?
Apakah ada dampak lingkungan lain yang akan hadir seiring dengan kehadiran banyaknya insinerator mengingat topografi kota Bandung?
Sisi lain yang perlu diperhatikan bersama, bagaimana kajian teknis yang berhubungan dengan kelayakan mesin itu untuk dioperasikan karena pembakaran sampah menghasilkan polusi asap buangan yang sangat berbahaya.
Artinya apakah mesin-mesin insinerator yang ada dan bahkan telah beroperasi itu sudah lolos uji emisi asap buangannya ?
Apakah masyarakat yang berada di sekitar mesin insinerator tersebut sudah dipastikan melihat dokumen kajian teknisnya ?
*Menjaga Kualitas Kesehatan Masyarakat*
Hal ini perlu dilakukan agar semua pihak terutama masyarakat memiliki potensi rasa nyaman terhadap kesehatan dirinya sendiri, mengingat kekhawatiran akan risiko kesehatan akibat emisi gas berbahaya dan partikulat halus yang dihasilkan dari proses pembakaran sampah, yang dapat menyebar luas melalui dispersi udara.
Pemerintah harus membuka akses keterbukaan tentang segenap kebijakan yang dipilih sehingga kelak pilihan bijak dan dianggap baik tentang pengelolaan dan pengolahan sampah tidak menjadi bom waktu, seiring dengan dampak lingkungan yang hadir dari keberadaan insinerator tersebut.
Evaluasi pun menjadi hal penting dalam merawat kelaikan mesin yang beroperasi.
Bandung sebagai gudangnya akademisi sudah selayaknya dapat menghadirkan kajian solusi yang efektif, efisien dan ramah lingkungan atas penyelesaian masalah sampah ini.
*Budaya pemilahan*
Dari pilihan kebijakan apapun yang dihadirkan, penyelesaian masalah sampah hanya akan berdampak nyata apabila rumus budaya pemilahan menjadi target utama yang harus ditaati oleh masyarakat melalui pembangunan komitmen yang dikondisikan oleh aparatur kewilayahan setingkat rukun tetangga.
Dengan budaya ini permasalahan timbulan sampah yang berujung pada TPS dan Mesin insinerator akan semakin ringan karena sampah sudah sampai titik residu.
Bukankah pemerintah sudah menegaskan tentang slogan ” Tidak Dipilah Tidak Diangkut ” ?
-Solusi tanpa polusi-
Penulis : Rahmat Suprihat, S.Pd – Guru, Aktivis Peduli Lingkungan Jabar (Pelija)